Advertise Box

0
//
you're reading...
Film Review

Film Review: Crazy Little Thing Called Love (2010)


Selain terkenal dengam film-film horornya, tampaknya Thailand kini juga mulai dikenal dengan film-film bercorak komedi romantis pula. Keberhasilan ‘Bangkok Traffic Love Story‘ (2009) dan ‘Hello Stranger’ (2010) kemarin disusul pula dengan kehadiran ‘Crazy Little Thing Called Love’ – สิ่งเล็กเล็ก ที่เรียกว่า..รัก (CLTCL) yang ternyata tidak kalah sukes, sebenarnya fenomena yang cukup menarik, karena ternyata sineas negeri gajah putih itu cukup tangkas juga dalam menggarap sub-genre ini. Terlepas dari betapa klise-nya cerita serta pendekatan yang dipakai, terbukti jika film arahan duo Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong cukup berhasil membangun kisah yang menggelitik dan renyah untuk diikuti.
Terus terang saya agak menggangap remeh film ini setelah membaca premis juga mengintip trailernya. Sepertinya menu yang ditawarkan sangat standar dan tidak menawarkan sesuatu yang baru. Bercerita tentang seorang gadis SMA berfisik “buruk rupa” bernama Nam (Pimchanok Lerwisetpibol) yang jatuh cinta pada seniornya yang ganteng dan idola disekolah, Shone (Mario Maurer, Love of  Siam). Kemudian dia mengalami tranformasi menjadi seorang gadis cantik yang menggemaskan. Namun, apakah setelah berubah rupawan, cinta pertamanya akan berbalas dan berjalan dengan lancar? Oh, belum tentu!
CLTCL adalah fantasi. Rasanya kita tidak bisa menafikan hal tersebut setelah menonton filmnya. Bagaimana pun kisah itik buruk rupa menjelma menjadi angsa putih yang  cantik biasanya hanya merupakan hasil olahan kisah fiksi belaka. Belum lagi proses transformasi Nam disini rasanya terlalu cepat dan kurang menimbulkan efek pukau, meski harus diakui kinerja tim make-up untuk merubah fisik Pimchanok Lerwisetpibol menjadi lebih “kumuh” dari aslinya yang cakep bangeeet, haha.
Terlepas dari kisah “dongeng” tadi, ternyata CLTCL menyimpan realisme yang kuat dalam kisah yang dipaparkannya. Terutama bagi yang sempat mengalami kisah cinta tak berbalas saat masih duduk dibangku sekolah menengah. Konon lagi jika itu adalah cinta pertamanya. Adegan-adegan tertentu di film seperti mengulang kembali perasaan yang mengharu-biru itu dan sempat terpendam beberapa lamanya di benak. Dan kelebihan film adalah menampilkan perasaan itu dalam porsi yang cukup tanpa harus berlebihan. Yang lebih penting lagi adalah dengan elaborasi secara lebih realistik pada adegan-adegan pendukung untuk itu, sehingga membuat penonton dapat merasakan sentimen pribadi Nam pada Shone dan begitu juga sebaliknya.
Pada akhirnya setiap kelucuan yang menggelitik di film dibangun melalui keluguan dan ketidaktahuan Nam dalam menghadapi perasaanya terhadap Shone. Masalah apakah dia itik-buruk-rupa-menjelma-menjadi-angsa disini menjadi tidak penting lagi. Karena toh, setelah dia “berubah’ bukan berarti hubungan dirinya dengan Shone menjadi lebih mulus. Meski secara fisik berubah, namun didalam ia tetaplah Nam yang clueless dan kebingungan. Inilah kelebihan film ini, karena karakter-karakternya ditampilkan lekat dengan keseharian dan membumi. Membuat film menjadi terasa menggemaskan dan juga….mengharukan.
Menjelang akhir, unsur komedi pun mulai berkurang dan melankolia serta elemen-elemen yang sentimentil pun mulai mengambil peran yang lebih besar. Akan tetapi, tetap saja film mampu membangun emosi yang dibutuhkan untuk film sejenis ini. Dan akhirnya film ditutup dengan ending yang cukup manis dan memuaskan, setidaknya bagi saya.
Keberhasilan film ini, selain chemistry dengan takaran yang pas antara Mario Maurer dan Pimchanok Lerwisetpibol, adalah kemampuan merangkai cerita yang meski sederhana dan tipikal menjadi sesuatu yang menyegarkan dan sangat menghibur. Menghadirkan semua yang kita inginkan pada sebuah film komedi-romantis berbalut melodrama. Mungkin masih berada di jalur aman dan belum berani mendobrak streotipe, akan tetapi setelah menyaksikan filmnya secara utuh membuat saya tersadar jika kisah kasih tak sampai/tak berbalas pada dasarnya mempunyai pola yang sama untuk setiap orang. Dan film seolah menegaskan jika remaja adalah pribadi labil dan clueless. Akan tetapi bukankah kita pada dasarnya dulu juga seperti itu?

Sponsored by